Tuesday, April 22, 2014

Gunung Gede 2.958 mpdl

Ah!

Finally, gue bisa menceritakan "Bagaimana Rasanya Mendaki Gunung".

THAT WAS AMAZING.

Diawali dengan ajakan seorang pacar yang memiliki teman-teman pecinta alam di daerah Cijantung yang mereka namakan perkumpulan itu dengan "Marcopala". Membayar uang tunai Rp 200.000,- entah uang tersebut untuk apa saja, gue tidak diberi rinciannya.

Menjelang hari H yaitu Kamis, 17 April 2014, pacar gue, sebut saja Anjas, ke rumah untuk mengambil barang-barang gue untuk pendakian. Kemudian, dengan bingung dan agak sedikit ngiler, Aa Deri, kakak pertama gue, kepingin ikut. "Hmmmm.. Ikut enggak ya" begitu katanya. Padahal kami enggak ngajak. Hehehe. Kami ngajak saat jauh-jauh hari, tapi Aa menolak.

Dengan cepat Aa memutuskan untuk "Oke, gue ikut". Untungnya masih ada tempat kosong karena ada beberapa orang yang tidak jadi ikut.

Barang-barang yang gue bawa:
1. 1 baju dipakai, 5 baju di Carrier
2. 1 celana gunung dipakai, 1 celana training agak tebal di Carrier
3. 1 underwear dipakai, 4 underwear di Carrier
4. 1 bra dipakai, 2 bra di Carrier
5. Hand sanitizer
6. 50 sheets Tissue basah
7. Minyak angin Safecare
8. 10 sheets Koyo
9. Listerine ukuran kecil
10. 2 cokelat Silverquuen, 2 cokelat Cadburry
11. 6 sachets susu cokelat cair
12. 3 jenis snacks: Lays, Kusuka, Happytos
13. 4 jenis cracker: Saltines, Malkis Abon, Oatbits (strawberry), Oatbits (jeruk)
14. 3 Tic Tac, 1 kacang Koro

Something missed?
Yeah! MINERAL WATER.

Jangan diulangi ya, air mineral penting banget untuk dibawa. Kalau bisa, air mineral juga dan (sebut merk) Pocari Sweat juga. Ya, walaupun berat tapi bermanfaat banget di jalan.


Sabtu, 18 April 2014.
Berangkat dari rumah di Kampung Rambutan. Pukul 05:00 WIB sudah sampai di Cijantung. Keberangkatan dimulai di sana. Kami dalam satu tim yang berjumlah sekitar 38 orang. 5 orang perempuan dan 33 orang laki-laki. Naik 4 mobil sewaan. Like always, Indonesian always late. Sekitar pukul 06:00 WIB, kami baru berangkat, molor satu jam dari yang direncanakan, "Jam 5 subuh berangkat yang telat ditinggal."

Perjalanan lancar, sampai dengan ada tas yang jatuh di TOL. Bayangkan saudara-saudara, tas kami, yang ditaruh di atas mobil sewaan itu jatuh, jatuh di TOL pula. Entah bagaimana menyettingnya sampai tasnya bisa jatuh. Harusnya bisa lebih aman lagi dengan mengaitkan semua tas dengan tali bukan hanya dengan menumpukkan tas kemudian diikat tali. Hehehe. Komen ajeeeee.
Cewek-cewek di mobil barengan gue, udah pada panik, "Aduh, itu tas gue bukan ya. Di dalemnya ada kamera."

Akhirnya, sang supir yang dengan gagah berani menyebrang TOL dan mengambil tas tersebut. Gue udah ngebayangin aja, "Ah, enggak jadi deh nih gue nanjak gunung kalo ini abang supir kelindes mobil-mobil di TOL". Syukurlah abang supir itu datang dengan membawa tas dengan selamat. Untungnya, isi tas itu sepatu-sepatu, bukan carrier yang  berisi baju dan makanan atau bahkan gadget.

Perjalanan berlanjut, kemudian macet melanda saat keluar TOL. Banyak akang-akang yang mengatakan "Ditutup. Ditutup." Jebakan pemirsa. Kenyataannya, malah jalur turun Puncak yang ditutup. Jalur naik dibuka selebar-lebarnya. Perjalanan lancar car car. Sekitar pukul 09:00 WIB sampai di .... apa ya itu namanya, pokoknya sebelum POS Gunung Putri deh. Terakhir mobil mengantar.

Kemudian, turun dari mobil. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal di mobil.
Kemudian lagi, Anjas mengajak "Yuk, kita ke GPO (Gede Pangrango Operation)."
"Yuk!" dengan gagah gue mengiyakan.

Perjalanan ke GPO cuma 10 menit sih, tapi itu jalanan nanjak.
Berkata dalam hati, "Anjrit, ini baru mau ke GPO doang loh, belum masuk ke gunung. Anjrit, kaki gue lemes, jantung gue... berasa mau copot. Tidak seharusnya gue di sini. Bolehkah gue pulang lagi ikut mobil sewaan itu kembali ke Jakarta? TIDAAAAAAAK!"

Akhirnya sampai di GPO. Dengan kalem gue mencari tempat duduk dan menenangkan diri. Kayaknya gue doang deh yang ngos-ngosan sampai ke GPO, yang lain biasa aja tuh. Mampus gue. Gue enggak bisa balik lagi. Gue harus lewati gunung ini.

Gue langsung stretching seluruh badan. Menyiapkan kaki untuk berjalan.

Karena gue pemula (alasan), gue hanya membawa tas kamera, sedangkan Anjas membawa Carrier besar entah berapa liter, Aa membawa tas daypack. Agak kesulitan pada awalnya dengan makanan yang kami bawa agak melimpah. Banyak yang mengejek "Alfamart berjalan." Tapi ternyata, TOH, makanan ini sangat berfungsi. Bisa bagi-bagi dengan teman-teman seperjalanan.

Perjalanan menuju gunung yang sesungguhnya, dimulai dengan berdoa.
"Ya Allah, semoga selamat sampai tujuan ke Gunung Gede dan sampai pulang kembali ke rumah."

Berjalan melewati ladang, jalanan agak landai, sedikit menanjak dan sedikit menurun.
Tidak ada pembagian kelompok, semua orang dipecah begitu saja. Hmmmmm. Tidak terorganisasi, actually.

Kemudian, mengambil air di Mandalawangi. Itu merupakan mata air terakhir yang kami akan temui, selanjutnya, mata air akan dijumpai di Surya Kancana, tempat kami nge-camp.

Setelah Mandalawangi, Anjas bilang, inilah trek menuju Gunung Gede via Gunung Putri, sesungguhnya. Kaki kaget, jantung kaget. Nafas terengah-engah. Tapi tenaga masih full. Jadi perjalanan cukup lancar.

Perjalanan ke POS 1. Lancar.
Menuju POS 2 dan 3 juga lumayan cepat.

Hanya saja ke POS 4 itu lamaaaaaa sekali.
Persediaan air sudah mulai habis. Akhirnya minta ke teman-teman seperjalanan.
Di POS 4 ada akang-akang jualan Pop Mie dan segala macam kopi dan susu.
Gue sudah mulai bengong-bengong bego di POS 4.

Perjalanan setelah itu, begitu menyiksa. Beberapa langkah, istirahat.
Makanan masih banyak, tetapi air habis. Makanan aja yang dipikirin. Lupa kalau yang terpenting itu rasa haus. Eh tapi, kalau nanjak gunung tidak boleh lapar juga sih. Perut harus terus diisi karena perlu tenaga ekstra.

Perjalanan ke POS 5, sangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat jauh.
Tanjakan semakin lama semakin curam, semakin tinggi.
Tiga langkah kaki lemas, istirahat, tiga langkah lagi kaki lemas lagi, istirahat lagi. Begitu seterusnya.
Gimana enggak lemas? Nanjak booook!
Gue sih bukan nanjak gunung kayaknya, climbing itu sih ya. Kaki gue enggak kuat gue angkat, gue merangkak aja, yang penting sampe.

Tiap ada jalanan datar, orang-orang menyebutnya "bonus".

Setiap berpapasan dengan orang, gue konsisten, mau di awal perjalanan atau pertengahan atau hampir sampai, gue hanya senyum, justru orang yang berpapasan dengan gue yang selalu bilang "SEMANGAT!". Gue enggak sanggup menyemangati orang, Alhamdulillah bisa nyemangatin diri sendiri.

Sampai akhirnya, orang-orang bilang "TANJAKAN TERAKHIR".

GELOOO.
Itu yang namanya tanjakan panjang bener. Udah gitu, ternyata masih ada tanjakan setelah tanjakan terakhir, tapi enggak separah tanjakan terakhir sih.

Setelah 6 jam menanjak..

Akhirnya pukul 4 sore,

SELAMAT DATANG DI ALUN-ALUN SURYA KANCANA.

Orang-orang menyebutnya Surya Kencana ya, tapi gue lihat tulisan di sana, ditulisnya Surya Kancana. What ever-lah. Eta wee pokona mah.

Dataran seluas 50 hektar yang ditumbuhi bunga Edelweis, tapi saat itu belum berbunga. Tak apa, gue bukan pecinta bunga kok, jadi it's okay.

Sampai di SurKan,
Kami sangat lapar. Akan tetapi makanan belum ada.

Hmmmmm.
Haruskah gue menceritakan bad moment ini?

Dengan membayar Rp 200.000,- per orang sudah seharusnya termasuk juga ke dalam konsumsi.
Tapi apa boleh buat, tim panitia tidak mengaturnya dengan baik.

Bayangkan!
Setelah 6 jam mendaki gunung, begitu sampai, makanan yang ditunggu-tunggu tidak kunjung ada.
RRRRRRR. LAPER!!!

Akhirnya, gue membeli Pop Mie.
Dua kali gue makan Pop Mie. Sore dan malam.

Enggak ngertilah gue. Makanan jadi pukul 9 malam.
Itu pun langsung HABIS dalam waktu beberapa petikan jari.

Gue tidak makan.


Minggu, 20 April 2014.
Pagi harinya, gue langsung mencari nasi uduk.
YAP. Itu merupakan nasi uduk terhambar, terdingin, termahal, I ever aet.
Tapi tetap gue makan, biar perut tidak kosong karena sekali lagi, tidak disediakan sarapan.
Whateva.

Kemudian, luntang lantung tidak jelas. Foto ke sana kemari.
Pagi hari cuaca cerah, kemudian pukul 9 pagi kabut mulai datang dan menutupi permukaan Surya Kancana.

Selesai foto-foto, kemudian packing.
Actually, gue tidak membantu packing sih, terima jadi saja. Hehehe

Selesai packing, menunggu makan siang.
Alhamdulillah ada makan siang, tapi cuma sedikit, untungnya masih ada cokelat.

DAAAAAAAAAAAAAAN.
Perjalanan pun dilanjutkan. PUNCAK GEDE.

Sebelum menuju track Puncak Gede, kami mengambil air terlebih dahulu.
Baru kali ini nih, minum air putih langsung dari kali. Rasanya?
Persis seperti air mineral yang dijual di pasaran.
Sayangnya, ada beberapa pendaki yang nge-camp di sekitaran kali, dan mencuci piring langsung di kali.
WHAT A STUPID!
Air itu kan untuk minum. Eh malah dikotori.

Perjalanan menuju Puncak Gede begitu banyak cobaan.
Dimulai dari kabut, hujan turun, sampai kebelet pipis.

Kebelet pipis merupakan tantangan banget. Nyari ruang untuk pipis di track itu susah karena pasti banyak orang lalu lalang. Sampai pada akhirnya, di pertengahan jalan, gue sudah tidak sanggup lagi.

Track yang begitu curam, ditambahn hujan, dan lagi harus menahan pipis, itu sesuatu banget.
Akhirnya di pinggir track, gue pipis dengan ditunggui dua cowok di atas dan di bawah biar tidak ada yang lewat. Pengalaman yang luar biasa, kawan.

Perjalanan terus berlanjut dengan langkah-langkah sempoyongan dan nafas yang semakin sedikit.
Gue banyak mengeluh banget di sini. Ah, bener-bener melelahkan.
Semua orang yang dilewati selalu ngomong "Semangat semangat!"

Pacar gue dari yang tadinya menyemangati saat gue ngeluh, di sini, saat gue ngeluh, dia pun ikutan ngeluh.
HUAAAAAA.
Akhirnya gue sendiri yang enggak enak. Moso tinggal bawa diri aja ngeluh.


AND FINALLY,

Touch down Puncak Gede 2958 mdpl
Sampai di Puncak langsung disuguhkan Pop Mie sama Aa Deri.

Ngomongin Pop Mie,
Pop Mie yang Aa  Deri beli, belum dibayar dan akangnya sudah keburu gulung tikar.
Entah kenapa, si Akang buru-buru banget mau pulangnya. Emang sih kayaknya air dan gelasnya sudah habis.
Gue yang memang dibayarin Aa Deri santai-santai aja, si Akang nutup warungnya.
Eh, pas mau turun si Aa nanya "Lah, ini akangnya mana. Gue belum bayar."

Total Bill:
2 Pop Mie Rp 20.000,-
2 Susu Rp 10.000
1 Kopi Rp  5.000
Jadi total Rp 35.000,-


Unfortunately, kabut menutup kawah yang katanya indah itu. Saya kurang beruntung.


PERJALANAN TURUN KE CIBODAS.

30 menit-an berada di Puncak Gunung Gede,
Karena takut terlalu malam sampai Cibodas, akhirnya kami turun.

Perjalanan turun awal sangat menyenangkan.
Jalanan yang datar, banyak pasir. Rasanya seperti jalan di pantai.

Kemudian, lama-kelamaan, jalanan menurun.
Masih aman. Turun dengan bantuan pegangan pohon.

Semangat '45!

Tidak pernah break. Beda banget sama nanjak, tiap 10 menit break atau bahkan tiap langkah break.
Banyak yang bilang "Mendingan nanjak deh daripada turun."
Gue enggak ngerti dengan ungkapan itu, gue dengan pede "Enakan turunlah" didukung dengan tanpa henti gue berjalan. Malah, kalau ada yang minta break, gue tetep ikutan, tapi enggak duduk. ASEEEEEK! Gaya.

Tapi emang bener,
JAUH LEBIH ENAK TURUN.
Buktinya, gue jarang mengeluh, gue jarang break.

Tapi....
Kenapa turun JAUH lebih lama ya? Enggak sampe-sampe gitu.
Nanjak aja, break mulu 6 jam. Lah ini, turun jarang break tapi 7 jam.

Kami kena malam, pemirsa. WAW banget.
Tadinya gue kira akan seru kalau malam-malam di gunung.
Iya seru juga sih, plus menegangkan. Spooky banget.
Padahal gue sudah membersihkan pikiran-pikiran "itu" jauh-jauh. Teteeeeeep aja, namanya juga di hutan gunung ya, memang hawanya begitu. Gelap gulita pula.

Gue, Aa dan Anjas pada dasarnya membawa sumber cahaya masing-masing. Anjas dan punya headlamp dan gue punya lampu badai. Tapi karena banyak yang enggak bawa lampu, jadinya lampu badai gue dipake dan gue berjalan dengan diterangi headlamp Anjas.

Jalanan enggak pernah habis. turunan juga makin curam.
Oiya, apa sih itu namanya, setelah air panas, ada jembatan yang sebelahnya air terjun.
HIIIIIII serem banget ngelewatinnya, untungnya ada pendaki lain yang berlawanan arah, menunggu dan sekalian bantu megangin gue. Thank for you.

Ada jembatan yang panjang sekali, jembatan yang terbuat dari beton kali ya, tapi bentuknya dibuat seperti pohon. Awalnya enak banget lewatinnya, lama-lama kok panjang dan hawanya gimana gitu. Manaan ditinggal rombongan lagi, jadi cuma berdua Anjas.

Jalan berdua Anjas doang itu males banget.
Disuruh "langkahnya yang berani dong." IH! Sudah tahu kakinya cape, jalanan batu semua, gimana mau jalan yang berani, nanti kalau keseleo siapa yang mau gendong. Kan malah nyusahin. Banyak berantem banget deh di perjalanan pulang saat itu. Ternyata, pas di Jakarta, Anjas cerita kalau di daerah tersebut memang horror, karena gue penakut, makanya dia menyuruh gue untuk jalan cepat.

Di sepanjang jalan turun, gue jumpai banyak banget yang kakinya keseleo.
Kasian, dengan kaki yang sehat aja, jalan gue udah sempoyongan, apalagi keseleo. Mungkin gue sudah minta gendong. Tahu deh siapa yang mau gendong. HAHAHAHA. Ada yang kuat?

FYI,
gue dapet a.k.a periode bulanan gue datang saat di track turun. Bayangkan!
Pinggang pegel, perut enggak enak tapi harus terus berjalan turun.
Mau ngeluh, ngeluh ke siapa. Ditelan saja sendiri.
Ngeluh ke Anjas, "Alid dapet." Dia cuma merespon dengan muka polos.
THANKS.

Sampai di Cibodas pukul 21:00 WIB.
Jalanan ke warung yang dituju turunan dengan aspal, rasanya mau gelinding aja.
Langsung ganti baju kering, thanks to Anjas yang menyuruh gue bawa baju banyak.
Karena kalau baju basah dipakai sampai kering, nanti masuk angin.

Setelah itu langsung makan.
Ngobrol-ngobrol. Tidur-tiduran. Di warung itu sediakan kasur dan selimut looooh.
UH! Enaknya tiduran.

Oiya, kami masih menunggu teman kami yang belum juga sampai.
Kakinya lemas atau kenapa gitu. Jam 12 malam dia baru sampai, itu pun juga ditemani teman-teman lainnya.
Katanya, dia breaknya lama, jadi turunnya lama.
Kalah ya sama gue yang cewek. Hehehe
Ada juga loh, yang sudah sampai warung, balik lagi ke atas untuk menjemput teman yang belum sampai.
AH, kalau gue tidak kuat.

Jam tiga subuh, kami baru pulang ke Jakarta, sampai Jakarta jam lima subuh.
Anjas dan Aa harus lanjut beraktivitas.
Gue sudah minta cuti untungnya.


Sampai di Jakarta,
Kaki bengkak, jalan ngangkang, kuku jempol kaki pecah.

KAPOK?
Enggak sih, tapi nanti dulu ya, jangan sering-sering :)

















Thursday, April 17, 2014

Apartemen Kalibata City

Hmmmm.

Where I have to start?
Sooooo, I've been lived at Kalibata City now, since two weeks ago.

Lived with two of my brothers, Deri Marret & Dicky Ramdoni.

So many people asked me,
"Kenapa pindah?"
"Kenapa di Apartemen?"
"Kenapa Kalibata City?"

I'll answer it.

Mengapa pindah, karena rumah sebelumnya yang kami ditempati dirasa sudah tidak layak menampung tiga orang yang besar-besar seperti kami. Pertama kalinya dalam hidup kami, kami pindah dari rumah.

Mengapa di apartemen, karena mencarinya mudah. Susah banget kalau mencari rumah yang available for rent dalam waktu singkat dan kalaupun ada, belum tentu lingkungannya nyaman. Kalau apartemen kan ya, semua sama. Memang sih agak mahal.

Mengapa Kalibata, karena tempatnya strategis.

Well, done.