Tuesday, December 2, 2014

Gunung Sindoro 3.150 mpdl


(Ryan Caesar Raharja, Rahayu Nia Pratiwi, Deri Marret, Agustina Wulandari, Maria Astrid Rosemary Mardagiono, Lydia Fahmawati, Rizky Faisal, Andi Subagja)



PENDAKIAN GUNUNG SINDORO VIA KLEDUNG

28 November - 1 Desember 2014



YEAY! Naik gunung lagi, bersama PURPALA.
Berawal dari Aa Deri yang mengajak Kami untuk ikut open trip pendakian ke Gunung Sindoro. Kebanyakan menjawab menggantung, "Ikut enggak ya." | "Liat nanti deh." | "Enggak bisa ikut deh kayaknya." | Tapi Wulan menjawab lain, "Gue ikut."

Hari ke hari, di grup BBM, Wulan terus menerus menggoda, merayu, memelas, memaksa, meminta Kami untuk ikut open trip tersebut. Di awal-awal, Kami tidak mendengarkan rayuannya. Kemudian, perlahan mulai ada yang nanya, "Bayarnya berapa sih?" | "Fasilitasnya apa aja?" | "Tanggal berapa?" | Kemudian korban mulai berjatuhan. Akhirnya.. Kami semua kena rayuan, semua memutuskan untuk ikut open trip tersebut. Oops. Kecuali Ulvi.

Biaya:
Rp 450.000,-

Fasilitas:
1. Transport Jakarta - Wonosobo PP (Bus)
2. Transport Wonosobo - Basecamp Sindoro PP (Elf/Angkot)
3. Tiket Masuk Wisata
4. Porter (Hanya membawa tenda, nesting/trangia, kompor dan logistik kecuali air)
5. Perlengkapan kelompok (Tenda, nesting/trangia, dan kompor)
6. Dokumentasi foto
7. Donasi 2,5%
8. P3K

Tidak termasuk dalam paket:
1. Logistik (Info logistik H-3)

Informasi di atas dan cerita dari Aa Deri yang bilang travel agent ini bagus dalam memberikan layanan, membuat Kami terbuai dengan harapan dan impian bahwa Kami akan mendaki dengan sedikit lebih ringan, dalam hal bawaan dan juga beban memasak.

Hal-hal menyebalkan mulai berdatangan..

Ada invite-an grup whatsapp beranggotakan 30-an orang. Ternyata itu grup open trip itu. Kemudian, notifikasi mulai datang bertubi-tubi. Obrolan garing dan kering. Oh.. mungkin karena belum kenal kali ya.

Pembagian "share logistik" belum juga dipublikasikan hingga H-3. Kemudian, baru dipublikasikan pada H-2. Gue enggak ngerti kenapa begitu mepet ngabarinnya. Mulai menggemaskan ya open trip ini.

Klimaksnya adalah H-1 ada informasi bahwa biaya open trip ini naik Rp 50.000,- karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Benar-benar klimaks. 450rb saja sudah termasuk mahal, ini lagi ditambah jadi 500rb. Seharusnya hal tersebut menjadi resiko panitia yang telah menetapkan harga. Bukan Kami. Kami kan mau ikut open trip ini karena harganya Rp 450.000,- Yasuuuu.. dahlah.

Jumat, 28 November 2014

Dengan terburu-buru berangkat ke Kampung Rambutan. Mengapa terburu-buru? Karena hujan dan siangnya masih ngantor. Untungnya Terminal Kampung Rambutan itu dekat dari rumah. Berangkat dari rumah sekitar jam lima sore kurang. Sampai di TKP. Ternyata belum banyak orang. Sudah kuduga, It's Indonesia. Always late.

Semangat terus menurun. Waktu menunggu diisi dengan beli logistik serta obat-obatan yang masih kurang. Satu per satu beberapa orang berdatangan. Kami saling berkenalan, bersalaman. Sampai dengan pukul enam sore, masih belum ada kejelasan. Di rundown sih harusnya jam enam sore sudah berangkat. Dari tim PURPALA, hanya Aci dan Nia yang belum sampai. Bikin resah..

Kami bertanya pada panitia, share logistik ini dikumpulkan kapan? Kemudian terjawab, dikumpulkan di atas. Prok prok prok. Janji hanyalah janji. Di awal kan dijanjikan ya, akan dibawakan itu logistik. Berarti saat Kita sampai di camp, masakan belum jadi dong, karena makanan masih di peserta. BAKAL TERULANG KEMBALI kejadian kelaparan di Gede nih kayaknya.

Kemudian, setengah tujuh malam, Kami dipersilahkan masuk bis. Bisnya tidak disewa tapi hanya ikut bis biasa di terminal. Campur dengan penumpang lain yang ingin ke Wonosobo. Buru-buru mencari bangku untuk tujuh orang. Alhamdulillah dapet. Bisnya biasa sekali, tidak ada kamar mandi ataupun selimut. Huhuhu. Anw, mohon maaf ya readers, kalau gue selaku penulis terus mengeluh. It because, gue selalu membandingkan dengan trip-trip sebelumnya. Sudah kebayang harus menahan pipis nih..

Masih menunggu teman lainnya yang belum datang.

Akhirnya, semua sudah datang. Tetapi untuk yang terlambat, menunggu bis di luar. Alhamdulillah. Akhirnya semua lengkap dan perjalanan menuju Terminal Wonosobo di mulai pada pukul tujuh malam. Perjalanan cukup lancar. Sekitar jam dua belas malam, bis berhenti di sebuah tempat makan. Kebetulan perut kelaparan. Terakhir makan tadi sore. Bingung mau makan apa. Pengennya sih makan enak. Akhirnya gue memilih makan menu paket Rp 20.000,- (Nasi + 1 Lauk + Sayur).

Begitu mendekati ke menu makanan. Mata langsung melotot. Makanannya tidak manusiawi sekali. Berasa makan di penjara. Hehehe kayak pernah makan di penjara saja. Ya, sepenglihatan di film-film sih begitu ya. Sayur KOL ya, KOL a.k.a KUBIS in English Cabbage. Gue bener-bener refleks ngaduk-ngaduk sayur dan bilang "Sayurnya ini doang, Mas?" Dengan muka datar dijawab, "Iya." Lauknya pun standar. Ayam. Tetap gue makan dan gue habiskan juga kok.

Lupakan.

Sabtu, 29 November 2014

Sampai di Terminal Wonosobo sekitar pukul 10 pagi. Sampai di Terminal langsung cari toilet dan makan. Nah, di sini baru murah. Harga satu porsi sekitar Rp 8.000,- Ibu penjualnya pun ramah sekali, serasa dikasih makan sama Mama sendiri. Hehehe

Setelah makan. Langsung diinstruksikan untuk naik bis kecil. Para lelaki sibuk mengepak tas di atas bis. Masih banyak yang di luar tapi bis sudah penuh. Kasihan sekali cowok-cowok yang membayar penuh tapi harus berdiri sekitar satu jam kurang. Tidak bisa dibenarkan.

Sedang asik-asiknya di bis kecil. Ada tas yang hampir jatuh. CARRIER DEUTER BARU NIA! Tragedi tas jatuh terulang kembali. Untung langsung Aa tangkap tasnya. Diputuskan untuk satu orang stay di atas bis. Nah, gitu dong. Secara, tali rapiah rapuh itu untuk menopang carrier-carrier besar Kami? HELLOW! Think twice! *sambil nunjuk dengkul* (lebay)

And again.. Bisnya tiba-tiba menepi dan ternyata bannya bocor. Bannya sudah tipis sekali pemirsa. Sekitar tiga puluh menitan deh ngebenerin ban. Kasian deh abangnya, sendirian enggak ada kernetnya. Manaan abangnya endut lagi. Susah jongkok.

Perjalanan dilanjutkan dan sekitar pukul setengah dua belas sampai di Basecamp Sindoro Desa Kledung. Sudah mulai gerimis.






Di basecamp makan lagi. Makan bakso Rp 7.000,- Sedih sekali harus menghadapi hujan di awal perjalanan. Tadinya mau naik ojek ke POS 1 tapi tidak kunjung datang tukang ojeknya. Akhirnya memutuskan jalan kaki. Raincoat pun langsung beraksi. Gak keren banget deh, foto-foto pake jas ujan. Huftness.



Wulan mau difoto juga?


Ini backgroundnya Gunung Sumbing


Ini backgroundnya Gunung Sindoro

Perjalanan basecamp ke POS 1 itu 5 km saja pemirsa, sepanjang jalan ladang warga. Karena hujan, gue tidak menikmati pemandangan, mata terus melihat ke bawah karena air hujan menerjang wajah. Hahaha gue bingung mencari padanan kata "air hujan kena muka". Tenaga sudah terkuras duluan nih. Landai sih tapi jauh bingits. Kalau ada ojek, lau naik ojek ajelah. Gempoooooor! Tapi, saat TL bilang "Lihat ke belakang dong". YOU KNOW! Gunung Sumbing indah banget, besar, gagah, berwarna kuning keemasan. Terlihat jelas pepohonan di sana. This is why I love hiking!

Basecamp ke POS 1 Kami lewati selama 1 jam lebih.
POS 1 ke POS 2 Kami lewati selama 2 jam.
POS 2 ke POS 3 sekitar 3 jam.

Versi PURPALA Basecamp Sindoro s.d.  POS 3 = 7 jam.

Tidak banyak foto yang dapat gue abadikan, selain hujan, medan yang terus menanjak dan tiada ampun pun membuat Andi malas mengeluarkan kamera. Sangat jauh berbeda dengan Merbabu yang banyak sekali bonus. Sindoro itu mirip Gede via Putri. Tanjakannya enggak dikasih ampun. Lebay enggak sih? Itu sih yang gue rasakan.

Saat perjalanan menuju POS 3, korban-korban kaki keram berjatuhan. Banyak sekali yang keram. Harus banget membawa minyak urut ataupun salep otot. Useful! Kami beberapa kali harus break karena tim Kami banyak yang keram kakinya. Awalnya, Ryan, kemudian Nia, dilanjutkan Acit, terakhir Andi. Alhamdulillah gue masih bisa memaintain langkah kaki gue. Padahal kalo di rumah, kaki gue sering keram.
Saat-saat break, "Sweaper jangan mencuri" seperti terus mem-push gue. Gue sampai tidak enak hati kalau mau bilang "BREAK". *suara lembut* "Boleh break enggak sih?" kemudian suara Ibu Peri "Kalau cape bilang ya, Lyd" (suara Nia). Biasanya Kami santai sekali.
Acit, "Bang, ini gue pengen tahu aja nih, penasaran. Masih lama enggak sih?"
Abang, "Yaaa, kalo kita enggak jalan sih, masih lama."

AIH. MATE!

Gue, *lagi megang buah peer baru mau digigit*
Andi, Aci, Ryan, *lagi menghisap rokok yang baru saja dinyalain*
Aa, *baru dapet salak yang gue lemparkan tapi ternyata lemparannya kena kening Acit*
Abang, "Breaknya jangan lama-lama ya, lagu ini abis ya."

*timpuk si Abang pake peer*

Digituin terus setiap lagi break. Huhuhu enggak khusyuk jadinya setiap break. Tidak menikmati gitu. So hurry. Ya memang, semua ini untuk kebaikan kita bersama. Agar kita semua tidak kemalaman di track, tidak kedinginan, tidak kelaparan, tidak tidak tidak tidak.

Teman-teman, maafkan ya, penulis sudah tidak sanggup melanjutkan. Hehehe


Tuesday, November 18, 2014

Yakin Mau Tinggal di Apartemen?

PIKIRIN LAGI DEH!

UDAH DIPIKIRIN?

COBA PIKIRIN SEKALI LAGI!

DUA KALI LAGI?!

TIGA KALI LAGI?!

RIBUAN KALI LAGI?!


Kenapa sih, kok harus berpikir ribuan kali mempertimbangkan untuk tinggal di apartemen? Jadi begini ceritanya..

(to be continue)

Wednesday, October 15, 2014

Gunung Merbabu 3.142 mdpl

(Lydia Fahmawati, Andi Subagja, Rizky Faisal, Rahayu Nia Pratiwi, Agustina Wulandari, Deri Marret, M. Ulvi Surya Fadlillah)


Pendakian Gunung Merbabu via Selo
10 - 14 Oktober 2014


Berawal dari percakapan di Gunung Papandayan (23-24 Agustus 2014).
Andi, "Abis ini Merbabu yuk!" dan ditanggapi oleh Aa Deri dengan serius dan menggebu-gebu. Setelah pendakian Gunung Papandayan, Aa terus menanyakan "Kapan nih Merbabu? Oktober yuk!" dan Andi yang kewalahan menanggapi antusiasme Aa dikarenakan jadwal kuliah dan kerja yang padat membuat Andi tega tidak tega mengatakan "Kayaknya belum bisa dalam waktu dekat ini deh, A." dan Aa pun tidak tinggal diam, membuat acara pendakian sendiri dengan mengumpulkan teman-temannya untuk Pendakian Gunung Merbabu.

Meskipun gue dan Andi bilang tidak bisa melakukan pendakian dalam waktu dekat ini, tapi Kami tetap membeli peralatan mendaki, seperti carrier, jacket, celana, matras, kompor, ruff, sarung tangan, dan lain-lain, karena belajar dari pengalaman sebelumnya, pendakian gunung itu harus nyaman, membawa beban berat, dan suhu yang ekstrim.

"Petani yang baik, harus memiliki cangkul yang bagus".

Bukan hanya gue dan Andi tapi Aa dan Ulvi juga antusias membeli ini itu. Entah berapa juta yang Kami keluarkan, tabungan pun jadi tumbalnya. Tidak apalah demi kenyamanan hobi hehehehe.

Setelah tahu Aa akan melakukan pendakian tanpa gue dan Andi, gue dan Andi merasa seperti ditinggal. Kamipun berencana membuat agenda sendiri ke Papandayan (lagi). Dengan agak malas-malasan gue membuat rundown pendakian ke Papandayan. Kemudian entah bagaimana, gue merasa "Buang-buang uang deh kalau ke Papandayan lagi. Mending ke Merbabu ikut Aa." Andi tetap tidak mau ikut. It's okay. Gue merencanakan pendakian ke Merbabu tanpa Andi. Kemudian entah bagaimana lagi, Andi memaksakan ikut ke Merbabu dengan menghiraukan kuliah dan kerjanya.

Agak ribet ya bacanya? Ya memang, Kami galau banget saat itu.

Sekitar H-3 Kami (Gue, Andi dan Ulvi) memutuskan untuk, "Ya! Kami ikut dengan Aa ke Merbabu." Beli logistik, packing dan cari tiket dilakukan bersamaan. H-1 gue ke Stasiun Pasar Senen untuk membeli tiket. Alhamdulillah ada. Meskipun harganya sedikit mahal (MAHAL sih sebenernya huhuhu) Rp 215.000,- tapi lebih nyaman dibandingkan harus naik bis malam.

Aa, Kiki, Nia, dan Wulan berangkat dari Stasiun Pasar Senen jam 6 pagi dan turun di Stasiun Semarang Poncol. Gue, Andi dan Ulvi berangkat dari Stasiun Pasar Senen jam 8 pagi dan turun di Stasiun Semarang Tawang.

Tim 1 

Tim 2
(tidak usah mencari perbedaan antara kereta yang atas dan bawah ya)

Sekitar 6 jam dan ngaret 1 jam, akhirnya jam 3 sore Tim 2 sampai di Semarang. Janjian ketemuan dengan Aa di bis kecil (metro mini kalo di Jakarta), jadi Aa naik bis tersebut dari Stasiun Semarang Poncol menuju Terminal Terboyo (30 menit | Rp 5.000,- /orang) yang melewati Stasiun Semarang Tawang dan di situlah Kami semua bertemu.

Sampai di Terminal Terboyo, Gue, Andi dan Ulvi memutuskan untuk makan siang. Terakhir makan di kereta jam delapan pagi. Kalau tim 1 sudah makan di restoran saat menunggu Kami sampai. Harga Nasi Goreng Rp 7.000,- dan Es Campur Rp 3.000,- Hampir enggak percaya. Murah sekeleus! Andai di Jakarta masih segitu harganya, pasti uang gaji jadi terasa banyak hehehe. Kemudian mencari bis yang ke Boyolali (2 jam | Rp 15.000,- /orang)

Di bis perjalanan menuju Boyolali

Sampai di Terminal Boyolali, hari sudah gelap sekitar pukul 7 malam. Celingak celinguk. Kemudian ada Bapak-bapak menghampiri Kami dan dengan aksen Jawanya, "Mau mendaki ke mana?"
Saling melirik, Kami menjawab "Ke Merbabu, Pak."
"Mau Saya antarkan ke Basecampnya? Pakai mobil itu (sambil menunjuk mobil Elf merk Mazda). Ini berapa orang?"
"Tujuh orang, Pak"
'Ohiya, cukup berarti"
"Berapa, Pak?"
"Rp 150.000,- (/mobil) saja"
Saling melirik dan agak berbisik-bisik saling diskusi, "Oke deh, Pak."

Akhirnya, Kami diantarkan sampai Polsek Selo. Kurang lebih satu jam perjalanan dari Terminal Boyolali menuju Selo. Galau antara mau melapor atau tidak. Dilirik-lirik ke dalam tidak ada orang. Yasudahlah langsung saja ke Masjid untuk shalat dan bersih-bersih. Di Masjid sudah banyak pendaki lain yang juga akan melakukan pendakian.


Here we are

Dengan rasa percaya diri tinggi, Kami bertujuh BERJALAN KAKI menuju basecamp. Pendaki yang lain menggunakan kendaraan pribadi. Kirain tidak ada ojek. Selama satu setengah jam berjalan menyusuri tanjakan beraspal. Cukup menguras tenaga. Benar-benar RUAR BINASA (eh, luar biasa). Kurangnya komunikasi di antara pendaki, jadi gini deh misperception. Entah bagaimana, pendaki di Merbabu memang kurang "bersosialisasi". Mungkin perasaan Saya saja...

Sampai di Basecamp Pak Parman sekitar pukul sembilan lewat, sudah banyak pendaki yang beristirahat. Kami langsung ambil posisi. Yeay! Dapat tempat yang ada chargernya. Langsung memesan es teh hangat dan nasi. Gue pikir sebelumnya, basecamp itu pemilik rumahnya asik dan bagaimana gitu. Ternyata mereka cuek-cuek aja tuh. Mungkin cape kali ya, melayani banyak pendaki. Daaaaaan, registrasinya puuuuun seadanya. Tidak registrasipun tidak apa. Tapi untuk keselamatan, gue menuliskan data diri dan teman-teman satu tim. Tapi ya gitu, enggak bayar uang registrasi. Mau bayar sama siapa juga? Di warung itu enggak ada yang jaga. Celingak celinguk enggak ada orang. Yauuuuuuudah... kabooooooor!


Basecamp Pak Parman di pagi hari


Lagi-lagi, harga makanan cukup murah. Nasi telor sayur dan teh manis Rp 8.000,- ya meski rasanya biasa aja, tapi buat yang habis berjalan kaki selama satu setengah jam, makanan itu enak. Sehabis makan, langsung tidur untuk pendakian esok hari.

"Besok bangun jam berapa nih?" | "Yaudahlah sebangunnya aja!" | "Oke sip!"

Sejak dari mau berangkat ke Semarang, gue nginep di rumah Andi bersama Ulvi juga. Tidur bersama dua cowok itu. Sangat menyiksa. Ngoroknya berisik minta ampun. Gue tidur tidak nyenyak sejak malam Jumat, malam Sabtu pun, pas tidur di basecamp, mereka tidak berhenti ngorok. Malah makin menggila karena lelah jalan kaki. TIDAAAAAAAK! Take me out..


Penampakan bundelan-bundelan sleeping bag yang berisi manusia


Keesokan harinya, pendaki lain sudah berisik olahraga, sarapan, packing, dan tim Kami tidak kalah sibuknya, sibuk tidur. Awal mula pencorengan rundown. "Santai ajalah jalannya." Disahuti lainnya, "Iya.. Iya.." Dan jadi memang benar-benar santai. Jam 9 pagi Kami baru benar-benar memulai pendakian.


Pintu masuk jalur pendakian Selo

"Berdoa menurut kepercayaan masing-masing..."
"Lah, bukannya kita muslim semua ya?"

30 menit perjalanan, gue mulai merasakan sakit, sakit perut. Kayaknya sih karena menstruasi hari pertama dan perut tertekan belt carrier. Kemudian berhenti sejenak dan mengusapkan minyak angin ke perut dan kepala. Perjalanan dilanjutkan. Beberapa menit kemudian, rasa sakit yang lebih parah melanda. Sumber sakit dari perut sampai ke kepala. Sekejap serasa mau pingsan, badan lemas, malas bicara, tapi dipaksa makan roti dan madu. Madu yang gue kira tidak enak, ternyata enaaaaaaak sekeleus!

"Lan, ternyata enak ya madu?!"
"Katanya enggak enaaaak?"

TKP pas pertama kali sakit


Dibantu berdiri

Setelah menyadari kesalahan Kami, yaitu belum sarapan sebelum pendakian, akhirnya Kami mengeluarkan kompor untuk sekedar membuat susu, kopi, dan pop mie. Alhamdulillah sakitnya cuma sebentar. Habis itu sudah segar kembali. Ya maklumlah kalau hari pertama memang begitu.


Bikin Pop Mie dan Kopi

Kemudian.. perjalanan dilanjutkan kembali.

Setelah sakit, perjalanan dilanjutkan menggunakan jaket.

Setelah berjalan satu jam, kira-kira pukul satu siang, Kami sampai di POS 1. YEAAAAAY! Gue tidak sanggup berpose-pose, terkapar lemas (tuh-tuh yang di belakang lagi gogoleran).



Di POS 1



Perjalanan menuju POS 2


Perjalanan menuju POS 2. Yaaaa.. Kami memang banyak break dan foto-foto


Istirahat selama beberapa menit. Bertemu banyak pendaki lain, ada mahasiswa UNDIP angkatan 2013. Setelah itu perjalanan dilanjutkan, dua jam kemudian Kami sampai di POS 2 (bayangan POS 2 sih lebih tepatnya, Kami memutuskan untuk masak dan makan karena hari sudah menunjukkan pukul tiga sore dan Kami belum makan nasi. Perjalanan pun semakin ngaret.

Ternyata Merbabu memang jauuuuuuuuuuuuuuuh. Siapa yang bilang perjalan ke setiap POS itu hanya satu jam? SIAPAAAAAAA?! Entah ya, tim Kami yang lelet atau orang lain yang zuper yang bilang, ke setiap POS itu hanya satu jam. Dua atau tiga jam-lah harusnya.


Menu Kami sore itu, sarden+nasi+kripik singkong. NIKMAT!


POS 2 Bayangan


Setelah makan dan bersih-bersih, perjalanan Kami lanjutkan. Kami sudah mempersiapkan diri untuk bertemu malam hari. "Headlamp dipersiapkan!" Pukul setengah lima sore Kami melanjutkan perjalanan ke POS 3.


Sore yang dingin, jadi harus tertutup

Perjalanan yang terus menerus menanjak, ya beberapa sih ada bonusnya. Tapi sangat melelahkan karena tidak sampai-sampai. Kira-kira pukul delapam malam, Kami baru sampai di POS 3. Bukit yang tidak ada habisnya. GILA CAPEEEEE BANGET!

Sampai di POS 3, Kami sudah sangat kewalahan menghadapi perjalanan yang tidak kunjung selesai. Target Kami adalah POS 5, yaitu Sabana 2. Tapi dikarenakan sudah jam delapan malam Kami masih di POS 3, akhirnya Kami berdiskusi "Kita lanjutkan ke POS 4, kalau masih kuat nanti lanjut ke POS 5, kalau tidak kuat ya ngecamp di POS 4.

Kami salah track. Track yang Kami lalui sangat curam dan tidak ada jalurnya dan hal tersebut baru disadari setelah Kami sudah di tengah-tengah. Benar saja, ada suara dari arah kanan "Lewat sini lewat sini". Track Merbabu memang banyak cabangnya harus hati-hati memilih.

Akhirnya, sampai di POS 4 dengan tenaga terakhir. Langsung mendirikan tenda, bersih-bersih dan kemudian tidoooooooor. Hehehehe. Kasian Aa Deri dan Kiki yang harus masak. Wulan juga membantu masak nasi pada awalnya, namun kemudian tepar. Maafkan kami yang tidak bisa menahan rasa lelah. Huhuhuhu.


Penampakan Kiki yang berjuang memasak! Semangat!

Kemudian makan dengan rasa ngantuk. Sebenernya sih laper banget ya, tapi ngantuk, dingin, lelah mengalahkan rasa lapar. Menu malam itu, Soup Sosis, Ikan Asin balado dan nasi yang belum matang. Andi sih nih enggak mau masak. Karena pas makan sore di POS 2 Bayangan, Andi yang masak nasi enak. Setelah selesai makan. Kami semua melanjutkan tidur dengan pesan "Besok alarm jam 4 yeeeee".

Malam itu, tidur gue pulas sekali.

Pencorengan rundown selanjutnya, jam 4 pagi belum ada yang bangun. Jam setengah lima gue memaksakan bangun, bangunin cewek-cewek juga. Karena kebelet pipis. Ternyata di luar tenda banyak orang-orang yang tidur "TANPA TENDA". IYA! BENERAN! Gue lihat cowok-cowok tidur pakai entah sarung atau selimut, dan... helm. Can you imagine? Mereka ke POS 4 bawa helm! Enggak ngerti lagi gue. Gue lihat di sekeliling, enggak ada motor kok. Hehehe. Gue aja di tenda pakai sleeping bag masih kedinginan, mereka lagi? Mungkin anak gunung sejati kali ya. Tapi kalau ngomongin dingin, yang gue rasakan, dinginnya Merbabu masih kalah sama dinginnya Papandayan.

Setelah lega, beres-beres untuk SUMMIT ATTACK! Yuhoooooooooo.


We are ready!


Kenapa sih, Ndi? :)


Summit hanya membawa diri, beberapa cemilan dan sebotol Pocari Sweat. Terlihat ya ada dua bukit di belakang Kami? Anda salah! Masih ada beberapa bukit di belakang dua bukit itu. Bisa membayangkannya? Jangan dibayangkan! Gue aja enggak kebayang bisa sampai puncaknya. SESUATULAH!


Awal SUMMIT!


Kita akan ke sanaaaaa..


Bisa dilihat tingkat kecuramannya.



Still exist


Gue tidak bisa menyimpan rasa lelah HAHAHA


Gue takut ketinggian. Gue tidak bisa berdiri di atas kemiringan seperti itu. Takut jatooooh, akhirnya merangkak. Gapapa deh diketawain banyak orang, yang penting sampai atas.


Sampai di-webbing dong eike, jadi malu.


Antara takut jatuh tapi tetep mau difoto


Aa dan Wulan


Itu Gunung Merapi


Indah bukan?


Kelihatan ya bukit-bukitnya


Sampai saat foto barengpun, muke gue enggak ada. Fokus ke rumput hehehe


Samudra di atas awan


Kayak bohongan ya? IT'S REAL, guys!


Track ke puncak Merbabu itu parah banget. Naik turun bukit. Sekitar dua atau tiga jam untuk mencapai Puncak Trianggulasi.

HERE FOR YOU...

OUR SUMMIT...


HEBAT!


Kami dapat menaklukkan rasa takut Kami.

Setelah foto-foto, para lelaki ingin ke Puncak Kenteng Songo. Gue? CUKUP bobo-bobo cantik di Puncak Trianggulasi. Ya deket banget sih sebenernya, lima menit tapi males banget. Badan lemes hahahaha.


Ini dia Puncak Kenteng Songo. Eh yang ijo tuh cewek lhoooo hihihi



Ciri khas Kenteng Songo


Di Kenteng Songo ada perlombaan mendaki gunung. Kiki foto bareng sama salah satu pesertanya. Kewl!

Kemudian ketika lelaki kembali ke Puncak Trianggulasi, gue masih tidur. Mendengar percakapan entah suara siapa...
"Metik di mana tuh, Mas?"
"Bawa dari rumah."
"Iya, itu mah di Solo banyak"

Akhirnya, mungkin karena kasihan atau menerima kode dari Kami, Mas itu membagi buah jeruknya kepada Kami. DUA! Wiiiiiiiiiiiiih! Persediaan air menipis, kemudian datang buah jeruk yang kaya akan mineral. Segeeeeeeer bingit! Memang deh Wulan jago modusin orang HAHAHAHA.


Jeruknya kayak gini nih

Bisa bayangin kan? Di gunung gersang menemukan jeruk. MAKNYUS! Lain kali bawa buah ya kalau ke gunung!

Kemudian setelah itu foto-foto lagi. dan turuuuuuun ke bawah.

Hmmmmmm. Tapi ada yang aneh. KIKI ENGGAK ADA. Diteriak-teriakin, dicariin ke sana kemari, enggak ada. Dugaan utama, dia turun duluan ke bawah. Dugaan kedua, Kiki jatuh. OH TIDAK!

Akhirnya, Kami semua, kecuali Kiki, memutuskan untuk turun. Siapa tahu ketemu Kiki di bawah. Beberapa meter ke bawah. Kami semua menunggu instruksi Aa Deri untuk turun terus atau bagaimana. Tanda-tanda keberadaan Kiki belum ada. Gue udah ngebayangin aja kalau dia jatuh. Tapi Andi bilang, kalau ada yang jatuh pasti rame. Ulvi dan Nia berada paling depan. Gue dan Andi di belakangnya. Aa dan Wulan naik di belakang gue masih mencari Kiki.

Aa naik turun mencari Kiki. Lumayan lama juga tuh nunggu kabar dari Aa mengenai Kiki. Entah bagaimana ceritanya, pas teriak-teriakan (cara berkomunikasi di gunung), Kiki menjawab "NINGGALIN GUE LOOOO". Waaaaaah lega sekali, ternyata dia masih hidup HAHAHAHA. Ternyata dia ketiduran. *tepok jidat*

Ternyata saat kejadian Kiki ditemukan. Aa dan Kiki terjadi perang dingin dan Wulan berada diantaranya. Wulan memang cewek tangguh. Dia selalu melalui track seorang diri (mostly), kewl deh! Saat dia benar-benar seorang diri diantara perang dingin itu, mungkin Wulan lelah dan tidak fokus. Akhirnya, musibah terjadi. Wulan menggelinding, saudara-saudara.

Menggelinding seperti bebatuan (bebatuan apa teringgiling?) Hehehehe. Bebatuan aja. Kalau teringgiling bahasanya kasar banget.

Pasca menggelinding. Tolong jangan ditertawakan ya. HAHAHAHAHAHA

Setelah tragedi itu, Aa dan Kiki tidak lagi perang dingin. Semua kejadian.. pasti ada hikmahnya. Terima kasih, Wulan. Hehehe pisssss! Eits, tapi saat Aa mau menolong Wulan yang sedang gelinding, katanya Aa juga gelinding, tapi enggak sebanyak Wulan. Katanya...

Bisa membayangkan ya berapa kali Wulan gelinding? We're sorry to hear that..

Gue, Andi, Ulvi dan Nia hanya menunggu di bawah, Kami tidak tahu apa-apa. Sampai bertemu Wulan, gue langsung minta minum (dia pembawa air yang amanah). Pantas saja, kok sikapnya berbeda. Ternyata habis mengalami musibah. Kami baru diceritakan ketika di camp. Pocari Sweat yang Kami bawa untuk Summit telah habis.

Take a break


Bagaimana caranya, harus turun ke camp dengan cepat. A.K.U.H.A.U.S.S.E.K.A.L.I.

Dikarenakan takut ketinggian dan bisa dibilang cemen juga, naik saja merangkak, bisa membayangkan cara turun gue? Yap! Gue turun merosot. Membuat udara sekitar tercemar dengan debu-debu pasir. Akhirnya gue yang paling pertama sampai di camp! YEAY

Istirahat setelah summit

Dari kiri, tenda Consina (merah) itu punya Aa Deri yang diisi oleh gue, Wulan dan Nia. Tenda Great Outdoor yang dilapisi fly sheet kuning merk Co-Trek itu punya Andi yang diisi oleh Andi dan Ulvi, duo ngorok. Tenda Eiger itu punya Kiki yang diisi oleh Aa dan Kiki.


Serunya kongkow kongkow di gunung


Proudly presents.. our chefs


Gue juga enggak mengerti mengapa ekspresi memijit gue lebay banget


Orangnya bilang sih, mukanya kayak begitu karena makanannya asin bingit


Jangan ditiru, makan pakai pisau X_X


Bagi-bagi makan

Menu makanan Kami saat itu, mie goreng, sosis goreng, bakso goreng, cumi asih goreng.

Dikarenakan kekurangan air, mie rebus disulap menjadi mie goreng ala kadarnya. Melimpahnya makanan dan menyurutnya ketersediaan air, membuat Kami tidak menjadi rakus. Water is everything, guys!

Setelah makan dan rapi-rapi seluruh perlengkapan, Kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke rumah. Saatnya turun gunung! Turun merosot lagi, GUE SIAP! Tapi jangan sedih, kali ini gue tidak sendirian. Ada Wulan yang menemani. Dia trauma menggelinding lagi. Jadilah gue dan Wulan merosot turun ke bawah.

Kadang tracknya enak untuk merosot, kadang enggak enak karena pasirnya terlalu banyak jadi kaki sulit untuk merosot karena terhalang pasir. Muka, celana, tangan, sepatu penuh dengan pasir. Sampai di POS 3, Kami tidak lupa foto-foto seraya melihat kecuraman track kemarin malam yang Kami lewati..


Full team!


Bukit belakang Kami itu lho yang "ngeri" 


Debu di mana-mana

Perjalanan dilanjutkan dengan kesepakatan "Jangan sering break". Kami semua bersemangat untuk pulang. Perjalanan berjalan lancar sampai suatu ketika Ulvi sering minta break. Kakinya keseleo. Kemudian setelah melewati POS 2 Kami melakukan break lama. Gue mencoba memijat kaki Ulvi agar jalannya lebih nyaman.

Beberapa menit saat sedang dipijit, Ulvi mengeluhkan "Eh, kok pusing ya?!" Kemudian dia seperti mau pingsan. Kami semua panik, eh salah, gue deng yang teriak-teriak karena gue yang terdekat dengan Ulvi. Secara gue lagi mijitin kakinya ye kan. Ulvi lemas, menaruh kepala ke carrier dan sesaat kemudian dia bangun dan mata melotot, makin histeris. Andi dan Kiki langsung menyadarkan Ulvi dan membaluri tubuh Ulvi yang bisa dijangkau dengan GPU dan juga Safe Care.

Segala rupa dimasukkin ke mulutnya Ulvi, pertama permen tolak angin, kemudian cokelat. Terus mau dikasihin obat pusing juga, Ulvi protes "Ini cokelatnya belom abis." hahahaha amitir bener deh, ada orang sakit segala macem disuruh makan biar sehat.

Setelah itu, Ulvi muntah. Andi langsung membuat Susu Jahe untuk Ulvi. Kemudian setelah dirasa cukup istirahat dan Ulvi sudah enakan. Perjalanan dilanjutnya dengan konsekuensi, Ulvi turun tidak bisa membawa carrier. Anda tahu siapa tumbalnya?

YA! Wulan dan Kiki.

Lucunya. Saat Kami sedang diskusi, "Gimana nih, Ulvi gak bisa bawa carriernya." Kiki yang menoleh dan baru ngomong "Lan, gimana kalo.." langsung dijawab sama Wulan dengan tangan diangkat ke atas "Iya gue udah tahu. Gue udah firasat. Gue juga mikir dari tadi, gue kuat enggak ya."

NJRIT! Bikin ngakak!

Ekspresinya itu loh! Seolah-olah Wulan menutup mulut Kiki dengan jari telunjuknya, "Iya, Ki Aku sudah tahu semuanya. Kamu enggak usah bilang apa-apa lagi." HAHAHAHAHA

KOCAK!

Akhirnya, Wulan membawa carrier Aa Deri, Aa Deri bawa carrier Andi, Andi bawa carrier Ulvi, Kiki bawa carriernya sendiri dan carrier Wulan. HEBAT deh Wulan dari yang bawa daypack dan dalam situasi darurat jadi kuat membawa carrier Aa Deri. Salute!

Tidak lupa juga, Nia yang selama situasi panik itu memberi saran, nasihat ilmiah mengenai kejadian yang berlangsung. Membuat kita tenang.

Perjalanan dilanjutkan dengan sering break karena Ulvi masih sering muntah-muntah. Suatu ketika dibuang cokelat dari mulutnya, "Ah bikin enek nih cokelat". Ternyata dia tersiksa makan cokelat. Maksudnya kan cokelat itu mengenyangkan, biar perutnya tidak kosong.

FYI, sisa makanan Kami banyak banget. Ini tuh karena kebanyakan di track dibanding di tendanya, jadi waktu untuk nyemil kurang.

Sepanjang jalan gue terus menanyakan, "Kok enggak sampai-sampai ya?" Sudah berjam-jam jalan dari POS 2. Gue enggak berani bilang, soalnya takut kenapa-kenapa. Katanya kan kalau di gunung enggak boleh ngomong yang aneh-aneh. Eh, tiba-tiba Wulan ngomong "Kita kok ngelewatin ini lagi ya?". HMMMM. Itu gue langsung merinding dan terus berkata dalam hati "Enggak kok, ini memang jalanannya aja jauh, jadi lama."

Andi juga menenangkan Kami semua, "Namanya juga gunung, jadi jalannya mirip-mirip".

Aa memimpin perjalanan, di belakangnya ada Ulvi, Andi, Gue, Wulan, Nia, dan Kiki. Meski kaki Aa masih sakit, tapi Aa masih fokus untuk menuntun Ulvi jalan. Salute! Apesnya gue, sebelum Ulvi sakit, setiap ada turunan licin, Andi memberikan tasnya untuk tempat gue pegangan. Tapi setelah Ulvi sakit dan Andi membawa carrier Ulvi, which is the heaviest carrier of us, Andi berkata "Alid mandiri ya, Lyd." Huhuhuhu dan benar saja, gue kepeleset aja cuma diliatin. Ulvi telah mengambil perhatian Aa dan Andi dari hidupku. Huhuhuhuhu Kejaaaam!

Akhirnya gue bertumpu pada tongkat. Terima kasih tongkat sudah membantu Aku turun, I love you.

Tanda kedekatan basecamp sudah terasa mulai dari track yang banyak dedaunan, sudah tidak erlihat kaki gunung Merbabu, dan ada kerlap kerlip lampu basecamp. YEAY! Kami sampai. Kami sampai dengan selamat. Rasa syukur yang tiada tara. Alhamdulillah sekali. Terima kasih, Allah.

Gue berteriak "ITU LAMPU! KITA SUDAH SAMPAI". Kali ini, tidak bohong. Biasanya Kiki selalu berbohong. Saat naik maupun turun. Itu dikit lagi. Tuh.. tuh.. keliatan kan ada banyak orang. Padahal kita, cewek-cewek tahu itu cuma nyeneng-nyenengin doang.

Kalau gue suka mensuggest diri sendiri, "Dikit lagi ya, Ndi?" (Saat summit). Andi, "Iya, itu udah banyak orang di atas". Padahal masih banyak bukit lagi dan lagi. Semakin sering mengeluh, akan semakin cape.

Saat lampu benar-benar terlihat jelas, kemudian Andi memperlambat jalannya dan merangkul gue seraya berkata "Kamu memang pendaki sejati". Uuuuuuuuuh rasanya mau nangis.

Rasanya tuh.. Gue juga enggak percaya. Jalur pendakian Merbabu itu sangat berat. Enggak terpikirkan sebelumnya kalau seberat itu. 14 jam ke POS 4! Apalagi, saat salah track. Sampai merasa, akankah gue meninggal di sini, saking desperate-nya. Semua rasa menjadi satu saat itu.

Lega, bahagia, terharu, lelah, haus, lapar, kotor.

Kayaknya sih ini semua memang karena kuasa Allah. Kami semua diberi tenaga untuk naik dan turun di medan berat Gunung Merbabu. Bisa dibayangkan Nia sekecil dan selembut itu bisa naik dan turun Merbabu. Wulan yang lebih sedikit (sedikit aja lho) lebih besar dari Nia bisa diandalkan saat naik dan turun Merbabu. Gue yang lebih sedikit (sedikitnya agak banyak bolehlah) besar dari Wulan yang sedang menstruasi hari pertama, bisa naik dan turun Merbabu. KEWL!

Ada yang bilang,
"Saat mendaki gunung, mencapai puncak hanyalah bonus, pulang dengan selamat adalah tujuan utama"


Sekitar pukul 22:45 Kami sampai. Kami langsung menuju basecamp Pak Parman. Anehnya adalah rumahnya tertutup semua dan tidak ada pendaki lain selain Kami. Lagi-lagi, desa ini seperti tidak ada kehidupan. Hehehe mungkin beda kali ya. Kalau di kota jam segini masih banyak yang di luar rumah, kalau di desan sudah pada tidur kali ya.

Akhirnya pindah ke basecamp Pak Narto. Rasanya tuh seperti, lagi kebelet poop, pas sudah di toilet, di pertengahan proses disuruh pindah ke toilet sebelah. Sudah buka sepatu, sudah naruh tas, bahkan Wulan sudah berkerokan ria. Wulan akhirnya tepar.

Kami langsung memesan minuman dan makanan. Gue langsung bersih-bersih ke kamar mandi. Kami memutuskan untuk menginap dikarenakan tidak ada kendaraan untuk ke Selo. Memangnya mau jalan kaki lagi? Semua serentak TIDAAAAK!

Ulvi dikerokin Kiki

Paginya diceritakan, ternyata para pemuda di desa itu ke Gunung Sindoro-Sumbing untuk jadi porter dan ada acara pernikahan kendaraan pun dibawa ke sana semua. Jadi....

TIDAK ADA KENDARAAN UNTUK KE SELO! "Ada paling jam 4 sore."

Wulan langsung shock dan sedih. Dia masih belum punya cuti. Kalau Kami jam 4 sore baru berangkat dari sini, bisa dipastikan Selasa siang baru akan sampai rumah. DAN itu artinya, tidak bekerja lagi di hari Selasa. Wulan makin galau.

Akhirnya setelah Andi dan Kiki muter-muter. Mereka menemukan transportasi untuk ke bawah.

YEAY! Pulang!


Mari pulang


Ojek


Adik-adik kecil ini sangat lihai bawa motornya, tiap kali ada yang meragukan pasti dijawab "Tenang saja kita sudah biasa." Ya mereka enggak apa-apa, kita yang diboncengi ketakutan. Jalanannya ada jurang dan jalannya tidak mulus. Ini namanya Extreme Ojek. Tapi salute! deh buat anak-anak SMP itu.

Setelah menunggu beberapa jam (padahal enggak jelas nungguin apa), akhirnya ada Bapak yang menghampiri Kami dan menanyakan mau ke mana. Kemudian menawarkan untuk mengantarkan sampai ke terminal. Dengan membayar Rp 125.000,-


Di mobil pick up


Setiap orang punya giliran memberikan komentar dan direkam


Kenapa lagi kamu, nak?


Setibanya di terminal, Kami langsung membeli makanan untuk di bis. Ayam goreng, Kerecek dan nasi putih hanya Rp 8.000,- MANTAP! Beli Pop Ice saja harganya hanya Rp 4.000,- hihihihi murah.

Di bis, Kami menghabiskan waktu 12 jam dan pukul 8 pagi Kami sudah di Jakarta. Perjalanan pulang dengan bisa amat sangat menegangkan seperti naik RollerCoaster selama 12 jam. Ngebut bingit. Kami menaruh nyawa Kami pada Bapak supir.

Alhamdulillah pulang dengan selamat.



I wanna say thanks to you all...


DERI MARRET | My dearest big brother, terima kasih telah membantu tanpa kesal selama pendakian. Satu-satunya orang yang kupercayai saat keekstriman di gunung melanda. Semoga terus kuat! Tapi mengapa dirimu baik sekali kalau di gunung, ya? :P Beda sama di dunia nyata..


ANDI SUBAGJA | My beloved boyfie, terima kasih telah menemani selama pendakian. Selalu menawarkan diri untuk membantu. Mau di gunung atau di dunia nyata, kepribadianmu sama saja :)


AGUSTINA WULANDARI | Wanita tangguh yang humoris. Terima kasih telah banyak membantu kaum wanita dan pria. Terima kasih sudah bertingkah lucu membuat kita terhibur hehehehe


RAHAYU NIA PRATIWI | Ibu dokter lembut yang kuat. Enggak nyangka Nia ternyata kuat melewati Merbabu! Terima kasih atas nasihat, petuah yang bermanfaat bagi Kami. 


RIZKY FAISAL | PEDAL, pendaki handal. Terima kasih telah kuat membantu tim Kita hingga semua kuat sampai pulang dengan selamat. Terima kasih telah sering berbohong demi kebaikan HAHAHA


MUHAMMAD ULVI SURYA FADLILLAH | The youngest and the weakest in team. Terima kasih telah menjadi dokumenter perjalanan kita. Lain kali jangan dibawa lagi ya tripodnya HAHAHA





INI CERITAKU, MANA CERITAMU?