Monday, June 7, 2010

Reog Ponorogo

Sebuah Tugas Akhir
Mata Kuliah Kebudayaan Indonesia


Kesenian Indonesia
REOG PONOROGO








Disusun Oleh:
Lydia Fahmawati
(0806352750)


Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Depok, 2010

Bab I
Pendahuluan

            Dalam Mata Kuliah Dasar Keilmuan (MKDK) yang saya ikuti pada semester genap tahun ajaran 2009/2010 yaitu Kebudayaan Indonesia, saya beserta teman-teman satu kelas lainnya diminta untuk membuat satu makalah atau paper dalam bahasa Inggris dengan tema Kesenian Indonesia untuk memenuhi tugas akhir. Dosen Kebudayaan Indonesia kami yaitu Bapak Ganang Dwi Kartika, M.Hum telah memberikan tugas ini ± tiga minggu dari pengumpulan makalah. Namun, saya yang terlalu mengulur-ngulur waktu untuk pembuatan makalah ini dikarenakan saya lebih memproriotaskan tugas-tugas lain yang lebih dahulu datelinenya dan juga karena masih merasa bingung untuk mengangkat kesenian apa yang akan saya bahas sehingga dengan dateline satu minggu saya berusaha mengerjakan tugas akhir ini dengan semaksimal mungkin.
            Setelah menelusur melalui OPAC (Online Public Access Catalog) dan menelusur langsung ke rak buku di kelas 700 (Art & Rereation) dalam pengklasifikasian Dewey Decimal Classification (DDC) di Perpustakaan Universitas Indonesia. Lagi-lagi saya merasa bingung karena begitu banyak kesenian Indonesia yang ada. Pada akhirnya setelah memilah-milih saya tertarik pada satu yang membahas tentang Reog Ponorogo.
            Kenapa Reog Ponorogo yang saya pilih? Pada dasarnya saya tidak begitu mengenali kesenian yang satu ini. Namun, saya berpikir bahwa semua memang berawal dari ketidaktahuan dan akan menjadi tahu jika kita berusaha untuk mencari tahu. Akan sangat banyak hal-hal yang sebelumnya saya tidak ketahui tentang Reog Ponorogo dan saya akan membahasnya dalam makalah saya ini setelah saya mengetahuinya, agar siapapun yang membaca makalah saya ini akan mendapat pengetahuan yang sama dengan pengetahuan tentang Reog Ponorogo yang saya dapat.
            Pengetahuan tentang Reog Ponorogo dalam makalah ini saya dapat dari berbagai sumber yang ada yaitu buku-buku, artikel-artikel, berbagai informasi dari internet serta diskusi dengan teman-teman. Semoga dengan banyaknya sumber yang saya peroleh, membuat makalah ini menjadi variatif dalam hal isi intelektualnya. Dalam makalah ini saya membagi dalam empat bab, yaitu, Bab I Pendahuluan yaitu berisi latarbelakang saya membuat makalah ini dan mengapa saya memilih Reog Ponorogo sebagai tema serta pokok bahasan. Bab II Reog Ponorogo yaitu berisi segala sesuatu hal mengenai Reog Ponorogo seperti asal-usul Reog Ponorogo, sejarah Reog Ponorogo itu sendiri, mengapa dinamakan Reog, jenis-jenis Reog, apakah Reog hanya berasal dari Ponorogo, dan lain-lain. Bab III Reog Ponorogo dan Masyarakat, dalam bab ini saya akan membahas Reog dimata masyarakat ponorogo maupun masyarakat luar ponorogo,  bagaimana masyarakat mempengaruhi Reog serta permasalahan yang muncul di masyarakat yang berkaitan dengan Reog Ponorogo secara tidak langsung. Bab IV Kesimpulan yaitu sama halnya dengan arti kata kesimpulan itu sendiri, sebagai kesimpulan saya akan membuat suatu pemecahan masalah atau solusi yang dapat dilakukan untuk menjadikan Reog ataupun Reog Ponorogo tidak ditinggalkan oleh masyarakat dan lestari hingga ke generasi penerus selanjutnya dan seterusnya. Diakhir halaman saya membuat suatu Daftar Pustaka yang berisi daftar bacaan yang menjadi ilmu pengetahuan saya dalam membuat makalah ini.
            Saya berharap makalah ini dapat memenuhi tugas akhir untuk Mata Kuliah Dasar Keilmuan (MKDK) Kebudayaan Indonesia dan alangkah lebih baiknya lagi dapat bermanfaat dan meningkatkan kecintaan terhadap kesenian Indonesia bagi pembaca dan terutama saya sendiri. Amin.















Bab II
Reog Ponorogo

            Merasa berbangga hatilah kita sebagai warga Indonesia karena telah tumbuh dan berkembang  di negara Indonesia yang sangat kaya akan alamnya, yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan berjuta-juta penduduk yang menjadikan Indonesia kaya pula akan suku-suku sehingga menciptakan budaya-budaya yang beraneka ragam serta menghasilkan karya seni yang begitu melimpah dan unik. Salah satunya adalah Reog Ponorogo yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur.

A.      Reog Ponorogo
Tarian yang menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa dengan tinggi 240 cm dan lebar 190 cm berwujud kepala seekor macan dengan seekor merak yang bertengger di atasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya yang disusun menjulang ke atas (dhadhak merak[1]), ditambah para penari perempuan yang memerankan sosok prajurit berkuda (jathilan[2]), penari laki-laki berbadan gempal berseragam hitam, berhias kumis dan cambang yang lebat (warok), seorang penari yang mengenakan topeng berwarna merah, berhidung mancung, kumis tipis, lengkap dengan mahkota seorang raja (Prabu Klono Sewandono) yang didampingi oleh patihnya yang diperankan oleh penari yang juga bertopeng merah dengan hidung besar, mata melotot, mulut lebar, dan rambut jabrik (Patih Bujangganong).
Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian dua sampai tiga tarian pembukaan. Tari pertama biasanya dibawakan oleh 6 - 8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkn sosok singa pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6 - 8 gadis yang menaiki kuda. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tari pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk acara khitanan atau sunatan, biasanya adegan pendekar.
Beberapa literatur yang mengatakan pengertian kata “Reog” atau “Reyog” berasal dari kata “Riyet” atau kondisi bangunan yang hampir rubuh, dan suara gamelan Reog yang bergemuruh itulah yang diidentikan dengan suara “bata rubuh” (Soetaryo, 1960, Poerwowijoyo, 1985).

B.       Asal mula Reog Ponorogo
Secara garis besar terdapat dua versi cerita tentang Reog Ponorogo yaitu versi Bantarangin dan versi Bathoro Katong. Dari dua versi tersebut terdapat beberapa sub-versi yang apabila dilihat dari tema ceritanya menunjukkan kesamaan, namun sedikit berbeda dalam struktur dan detail-detail ceritanya. Saya akan menuliskan kedua versi tersebut.
1.   Lamaran yang gagal: Cerita Klono Sewandono – Dewi Songgolangit
Versi Reog Ponorogo yang akan saya ceritakan secara singkat diambil dari buku “Sejarah Reog Ponorogo” yang disusun oleh Poerwowijoyo. Cerita berawal di sebuah Kraton Bantarangin di desa Sumiroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo terdapat Raja bernama Klono Sewandono yang sangat tampan, bahkan saking tampannya jika para wanita tersandung sesuatu mereka spontan berkata: “Duh, Raja Bagus (baca: tampan) Klono Sewandono”.
Kisah berlanjut, pada suatu hari Raja Klono Sewandono mengumpulkan seluruh menteri dan bawahannya, termasuk patihnya Klono Wijoyo yang juga merupakan adik Raja Klono Sewandono. Klono Wijoyo digambarkan sebagai seorang pemuda yang bijaksana maka itu sering disebut Pujonggo Anom atau Bujangganong karena dia masih bujang dan kepalanya nonong. Namun, dia juga disebut Genderewo karena wajahnya yang menakutkan.
Pertemuan tersebut diadakan dengan maksud Raja Klono Sewandono mengutus Klono Wijoyo untuk melamar Dewi Singgolangit dari kerajaan Kediri. Dewi Singgolangit memberikan dua syarat kepada Klono Sewandono yaitu dia meminta seperangkat gamelan yang belum pernah ada didunia dan dia minta diarak bersama hewan-hewan seluruh isi hutan, untuk mengisi kerajaan Kediri. Mendengar permintaan tersebut Klono Sewandono marah karena menurutnya permintaan tersebut tidak lumrah dan menandakan bahwa sang putri telah menolaknya secara halus. Namun, Klono Wijoyo memohon agar rajanya tenang karena dia telah menyediakan persyaratan yang diajukan Dewi Singgolangit.
Mendengar hal tersebut Klono Sewandono senang bukan kepalang dan segara ingin melamar dewi impiannya. Ketika Klono Wijoyo menyatakan untuk turut serta sang raja karena takut ada halangan di perjalanan, Klono Sewandono melarangnya dan berkata kasar kepada Klono Wijoyo. Klono Wijoyo hanya bisa terdiam dan meminta keadilan kepada yang Maha Kuasa. Maka dari itu dia bertapa dipuncak gunung Wilis, hingga turunlah dewa Bathoro memberikan topeng mas yang bila dikenakan maka wajahnya akan berubah menjadi tampan dan pecut Samandiman yang dapat menghancurka gunung dan menguras isi samudera.
Sesampainya di kerajaan Kediri, ternyata Dewi Singgolangit tidak mau diperistri Raja Klono Sewandono. Terjadilah pertempuran di antara pasukan Kediri dan Bantarangin. Klono Sewandono mengalami kekalahan, dia tidak mati tetapi wajahnya sangat rusak. Disela-sela rintihnya dia meminta bantuan adiknya. Entah datang dari mana, tiba-tiba Klono Wijoyo sudah berdiri dibelakang musuh Klono Sewandono yaitu macan putih jelmaan Singolodro dari kerajaan Kediri. Akhirnya Singolodro kalah dengan pecutan Klono Wijoyo dan berjanji akan mengabdi kepada Klono Wijoyo. Akhirnya Singolodro diobati oleh Klono Wijoyo, tubuhnya sudah kembali seperti semula hanya saja kepalanya masih berupa kepala macan putih, namun Klono Wijoyo berkata hal tersebut merupakan takdir yang harus diterima atas prilakunya.
Klono Wijoyo memohon kepada kakaknya untuk bersabar dan menyerahkan topeng mas miliknya sehingga wajah kakaknya kembali seperti semula. Dewi Singgolangit melarikan diri ke sebuah gua dan setelah ditemukan dirinya telah berubah menjadi batu.

2.   Versi Bathoro Katong; Sindiran dan Penyebaran Islam
Versi berikut ini menceritakan bahwa reog diciptakan oleh Ki Ageng Suryongalam seorang pejabat di istana Majapahit yang memilih meninggalkan istana karena menganggap raja Brawijaya V tidak becus memerintah karena terlalu dipengaruhi oleh permaisurinya. Ki Ageng mendirikan padepokan bernama Surukubeng yang mengumpulkan para pemuda untuk dilatih ilmu kanuragan, seperti: ilmu kebal bacok, ditombak, dan ditusuk. Setiap bulan purnama mereka berlatih di pelataran, sebagai hiburan di sela-sela latihan ilmu kanurangan, Ki Ageng Suryongalam membuat tontonan berupa tarian sederhana yang diiringi dengan kendang[3], kethuk, kenong[4], dan slompret[5]. Dalam tarian tersebut ditampilkan sosok macan  atau Singobarong dengan merak menempel diatasnya, para penari laki-laki menunggang kuda-kudaan yang didandani seperti wanita, dan seorang penari yang menyeramkan (pujangganong).
Tarian tersebut menurut versi ini bukan hanya sebagai hiburan tetapi juga bentuk sindiran (satire) pada raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Sosok macan menggambarkan sang raja dan merak yang bertengger menggambarkan sosok permaisuri yang selalu mengendalikannya. Sementara penari laki-laki berkuda yang bertingkah dan didandani seperti perempuan melambangkan pasuka Majapahit yang tidak jantan dan lemah. Sedangkan pujangganong digambarkan Ki Ageng yang menari-nari bebas dan lucu.
Ketika Majapahit mengalami kemunduran yang kemudian memunculkan kerajaan Islam Demak Batoro, salah satu anak Prabu Brawijaya dan dan dia di utus oleh Raden Patah untuk menyebarkan Islam ke daerah Gunung Wilis dan Gunung Lawu yang merupakan daerah Kekuasaan Ki Ageng yang masih menganut Hindu-Budha. Ketika terjadi pertempuran fisik diantara pengikut Batoro Katong dan Ki Ageng, Reog digunakan untuk menandai awal peperangan tersebut. Setelah Ki Ageng dapat ditaklukkan, Reog tetap dipelihara oleh Batoro Katong namun dengan perubahan-perubahan yaitu sosok Singobarong yang sebelumnya menggambarkan sosok Brawijaya diganti menjadi lambing Ki Ageng, selain itu ditambahkan kalung merja (tasbeh) dimulut merak, yang melambangkan ajaran Islam. (Poerwowijoyo, 1985: 34, Depdikbud, 1995: 5)



C.      Penyebaran Reog
Mendengar nama “reog” angan-angan akan melayang pada suatu tontonan dari Jawa Timur, yang menampilkan makhluk berkepala harimau dengan hiasan bermahkota bulu merak di kepalanya. Di sekitarnya menari-nari badut bertopeng bermata melotot dan beberapa penari kuda kepang bergerak lincah. Gamelan (musik) yang mengiringi bersuara riuh dan monoton. Gambaran di atas adalah Reog Ponorogo yang paling dikenal di antara reog-reog yang ada di Jawa Timur.
Reog Ponorogo memang lebih dominan dibandingkan dengan reog-reog lainnya, seperti Reog Kediri atau pun Reog Tulungagung, namun bukan berarti dua yang disebut terakhir ini lebih rendah mutunya dibandingkan dengan Reog Ponorogo. Sama sekali tidak. Masing-masing mempunyai corak dan karakter sendiri-sendiri. Di daerah-daerah lainnya bahkan sering dijumpai jenis-jenis tontonan rakyat yang sebenarnya merupakan sempalan dari kesenian reog, antara lain tari Jaranan atau Kuda Kepang yang muncul dengan berbagai ragam bentuk.
Reog Ponorogo, seperti namanya lahir di bumi Ponorogo, sebuah daerah di Jawa Timur. Reog Ponorogo sebagai kesenian rakyat banyak berperan dalam kehidupan masyarakat berdasarkan adat istiadat setempat. Di samping sebagai alat penghibur yang amat digemari, reog juga sering dipergunakan pada arakan pengantin, perayaan dan upacara adat seperti bersih desa, atau pun pada perayaan nasional seperti memperingati Proklamasi dan sebagainya. Dengan demikian disamping sebagai alat hiburan Reog Ponorogo pun mempunyai peranan simbolik yang bersifat mistik. Bagi orang-orang yang percaya dapat dipergunakan sebagai penolak bala, penolak sial dan sebagainya.
Dalam kenyataan dijumpai pula, reog dapat dipergunakan sebagai alat penghimpun masyarakat yang kemudian dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu.Daerah penyebaran Reog Ponorogo meliputi sebagian besar daerah Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Khusus daerah Kediri dan Tulungagung, selain terdapat Reog Ponorogo juga dijumpai atau memiliki jenis reog tersendiri, yang corak dan karakternya berbeda.
Faktor utama yang mempengaruhi penyebaran Reog Ponorogo ini adalah daya pesona Reog Ponorogo yang demikian kuat sehingga sangat disenangi oleh penontonnya. Disamping itu orang-orang Ponorogo sendiri mempunyai rasa kebanggaan yang tebal terhadap kesenian tersebut. Sehingga bila seniman reog berpindah tempat terdapat kecenderungan mereka mendirikan suatu unit kesenian Reog Ponorogo di tempat “perantauan” itu.
Bab III
Reog Ponorogo dan Masyarakat

A.        Masyarakat Ponorogo
Reog dimata masyarakat dan pemerintah ponorogo sangatlah istimewa terlihat dari diadakannya Reog Festival Nasional setiap tahun sebagai peringatan Hari Ulang Tahun Kota Ponorogo. Sebagai penyelenggara FRN sekaligus sebagai pembina kesenian Reog Ponorogo, dibentuklah Yayasan Reog Ponorogo. ”REOG” ditetapkan sebagai semboyan kota Ponorogo pada saat masa jabatan Drs. Markoem Singodimedjo seorang kader Golkar yang dilantik menjadi Bupati Ponorogo pada tahun 1995, lewat SK Bupati Nomor: 425/1995. Sebagai pedoman dan pembinaan dan pengajaran Reog tersebut disusunlah sebuah buku berjudul “Pedoman Dasar Kesenian Reog dalam Pentas Budaya Bangsa” yang dipatenkan dengan Copyight dari Departemen Kehakiman RI nomer 013195 pada tanggal 12 April 1995. Buku tersebut lebih dikenal dengan “Buku Kuning” karena sampulnya yang berwarna kuning.

B.        Reog Festival dan Reog Obyogan
Pengklasifikasian sebuah praktik sosial ataupun pertunjukkan kesenian dilakukan agar mengenali dan memahami praktik-praktik tersebut karena berbeda-beda, unik, dan terikat ruang dan waktu yang berbeda-beda pula. Berdasarkan bentuk dan konteks pementasan Reog, masyarakat menyebut bentuk pertunjukkan malam bulan purnama dan Festival Reog Nasional (FRN) sebagai “Reog Festival” yang biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal, sedangkan bentuk pertunjukkan yang serupa dengan pentas Reog di Karang Lor disebut sebagai “Reog Obyogan” yang biasa ditanggap oleh individu, keluarga atau desa dalam acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan, slametan atau bersih desa.




Perbedaan bentuk pementasan antara Reog Obyogan dan Reog Festival
No.
Perbandingan
Reog Obyogan
Reog Festival
1
Ruang Pentas
Jalan, halaman berpindah-pindah (arak-arakan)
Stage (panggung)
2
Pola Gerak
Improvisasi
Standar
3
Sponsor
Rumah tangga, desa
Lembaga Pemerintahan (kadang bekerja sama dengan perusahaan swasta)
4
Kelengkapan Unsur Tarian
Tergantung pesanan (seringkali tidak lengkap)
Tetap (lengkap)
5
Cerita dan Urutan
Tidak mempresentasikan cerita tertentu, tanpa urutan yang jelas dan tetap
Mempresentasikan cerita tertentu (asal-usul terjadinya reog), urutan jelas dan tetap
6
Tingkah Laku Penonton
Mabuk, seronok, aktif
Sopan, pasif
7
Suasana Pertunjukkan
Tidak formal
Formal
8
Penonton
Sebagian besar adalah lelaki golongan Tyang Ho'e[6]
Semua Golongan
9
Ideologi
Kejawen
Nasional

Selain perbedaan yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi perbedaa-perbedaan yang ada diantaranya kostum penari, tujuan penari dalam mementaskan Reog, dan lain sebagainya. Mbak Tri, salah seorang juri Festival Reog Nasional ke VI tahun 2000, pada saat technical meeting menjelang FRN digelar “menekankan” masalah kostum Jathilan, menurutnya yang sesuai dengan “etika” dan aturan festival adalah celana dengan ukuran 5 cm di bawah lutut dan tidak ketat. Mbak Tri juga kemudian mengaku kalau dia tahu bahwa setiap kelompok Reog memiliki dua buah kostum Jathilan: satu kostum ketat dan “setengah paha” untuk tampil di Reog Obyogan dan satu lagi untuk main di Reog Festival.
Sementara itu, Mas Kamto, pelatih sanggar tari Purwalaksita, membuat dua kategori Jathil, yaitu “Jathil Obyogan” dan “Jathil Salon” sebutan yang terakhir adalah sebutan bagi para penari Jathil untuk festival saja. Mas Kamto merasa kesulitan apabila melatih dan mengikutsertakan penari Jathil Obyogan dalam festival karena penari Jathil Obyogan mempunyai kebiasaan menari yang sulit untuk diubah. Sebaliknya penari Jathil Salonpun merasa enggan untuk pentas di desa-desa karena tuntutan untuk tampil seronok dan seksi. Mas Gatot, pelatih tari lulusan IKIP Surabaya, itulah yang membedakan antara “orang pendidikan” dan “orang tradisi”. “Orang pendidikan itu, kalau ikut festival modalnya Cuma kesadaran. Kalau main Reogan, orang-orang tradisi tujuannya uang. Bayangkan saja festival, satu bulan dua bulan latihan paling-paling dapat Rp 30.000,- kalau ditanggap sehari bisa dapat Rp 50.000,-“ kata Mas Gatot.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 

C.         Kontroversi

Foto tari Barongan di situs resmi Malaysia, yang memicu kontroversi.

Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Tarian ini juga menggunakan topeng dhadhak merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Kontroversi timbul karena pada topeng dhadhak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia", dan diakui sebagai warisan masyarakat dari Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Ditemukan pula informasi bahwa dhadhak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo. Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta. Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.

D.        Reog dari Masa ke Masa
Pada masa Pemerintahan Kolonial, dalam Tydschry van Nederl Indie XXI/1589/I e deel halaman 571-572, diceritakan tentang kunjungn Gubernur Jenderal ke Madiun pada tahun 1838 yang disuguhi dengan pertunjukkan topeng hewan yang mirip dengan sosok barongan dalam Reog. Sumber lain mengatakan bahwa pada awa; abad XX, ketika pemerintahan Kolonial Belanda, kesenian Reog dilarang dipentaskan dijalan-jalan. Larangan itu berlaku kkurang lebih pada tahun 1912 (Mahmudi, 1969:45). Hal ini terjadi karena pada tahun yang sama sebelum larang tersebut dikeluarkan, di Ponorogo terjadi perkelahian antara dua orang Warok yang bernama Pardi dan Kardjan yang berakhir dengan kematian keduanya.
Pada masa pasca kemerdekaan Reog kembali muncul kepermukaan. Poerwowijoyo (1985:35), merangkum kondisi pada saat itu dengan kata yang cukup bombastis: “kelompok Reog muncul seperti jamur dimusim hujan ..” tanpa menyebutkan jumlahnya dengan pasti.
Pada tahun 1980-an, terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dalam bentuk pertunjukkan Reog Ponorogo terjadi pada tahun 1980-an, seiring dengan dibuat dan dimasukkannya tarian Warok, semakin berkembangnya Jathilan perempuan, dan diselenggarakannya festival Reog yang pertama.
Pada tahun 1990-an adalah tahun dimana Reog Ponorogo diperlakukan sangat istimewa, dengan digelarnya Festival Reog Ponorogo Nasional (FRN) yang pertama, yang kemudian diikuti oleh diterbitkannya buku “Pedoman Dasar kesenian Reog dalam Pentas Budaya Bangsa” (1995) sebagai “pakem” pertunjukkan Reog, diaktifkannya Yayasan Reog Ponorogo sebagai lembaga resmi yang membina kelompok-kelompok Reog yang ada di Ponorogo, diresmikannya padepokan Reog, diwajibkannya setiap desa untuk membuat Reog, dikirimnya seniman-seniman Reog ke luar negeri untuk menghadiri acara-acara kesenian



.















Bab IV
Kesimpulan

Reog khususnya Reog Ponorogo sebagai suatu kesenian mempunyai keindahan dan keunikan tersendiri hingga bahkan menimbulkan kontroversi. Kontroversi yang cukup menggegerkan telah dipaparkan dalam Bab III. Masalah tersebut mulai reda saat Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara mereka. Reog yang disebut “Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri tersebut.
Pada dasarnya ketegangan dan rasa ketakutan masyarakat Indonesia akan Reog Ponorogo yang akan di-claim oleh Malaysia seperti ini tidak akan terjadi jikalau masyarakat Ponorogo dan masyarakat Indonesia secara luas telah melakukan berbagai bentuk promosi sebelumnya, contohnya menaruh lambang Reog di segenap penjuru Ponorogo, di hotel-hotel maupun sekolah merupakan upaya yang dilakukan untuk menyosialisasikan Reog kepada masyarakat Ponorogo sendiri, juga masyarakat dari luar Ponorogo dan secara tidak langsung juga akan memperkenalkan kepada masyarakat diluar Indonesia bahwa Ponorogo adalah kesenian milik Indonesia.
Generasi sekarang beruntung memiliki para orangtua yang masih peduli terhadap kelestarian kesenian tersebut. Dengan kesadaran pribadi, mereka rela menjadi penyambung antara generasi terdahulu dan generasi mendatang. Sekarang, kesempatan sudah semakin terbuka dengan hadirnya para akademisi yang siap mengupayakan cara agar Reog Ponorogo tetap bisa dinikmati, bahkan dibawa ke pentas internasional. Tinggal generasi sekarang meneruskan usaha yang sudah dirintis itu.



Daftar Pustaka

Fauzannafi, Muhammad Zamzam
     2005  Reog ponorogo : menari di antara dominasi dan keragaman

Bedjo Riyanto dkk.
2010  Pintar : teman belajar bintang belajar : buku belajar SD per semester : kelas 3






[1]Dhadhak merak atau Barongan: Peralatan ini merupakan ciri khas dan peralatan utama dalam Reog Ponorogo. Barongan terdiri dari kepala harimau (caplokan) yang terbuat dari kerangka kayu dadap, bambu, dan rotan dengan ditutup kulit harimau gembong atau kulit sapi yang diwarnai menyerupai kulit harimau. Di atas kepala harimau tersebut bertengger seekor merak yang sedang mengembangkan bulunya. Di sekitar kepala harimau terpasang krakab, yaitu aksesoris tempat menuliskan identitas grup Reog yng terbuat dari bludru warna hitam disulam dengan monte. Barongan juga dilengkapi dengan kerudung yang berfungsi untuk menutupi tubuh si pembarong (pemain barongan) terbuat dari kain warna merah berseling hitam melintang.
[2]Jathilan: Penari dan tarian yang menggambarkan sosok prajurit berkuda. Sosok kuda tersebut diwakili oleh jaranan (eblek) yang terbuat dari anyaman bambu dengan hiasan-hiasan tertentu.
[3]Kendang: Alat musik perkusi yang berfungsi sebagai aba-aba saat dimulainya gending dan berfungsi sebagai pengiring gerakan juga pengendali irama.
[4]Kethuk dan Kenong: Alat musik pukul berbentuk bulat dengan tonjolan ditengahnya. Ia dipukul secara ritmis secara bergantian dengan ritme tetap sesuai dengan tempo gending itu sendiri.
[5]Slompret: Terompet yang berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi dan aba-aba sebelum gamelan dimainkan.
[6] Tyang Ho’e : Suatu golongan yang mempunyai kebiasaan meminum minuman keras saat pertunjukkan Reog Obyogan berlangsung